Tak hanya pesona alam, keunikan budaya masyarakat Jangkat membuat saya tertarik menyambangi daerah subur berhawa dingin ini.
Ada dua suku asli di Merangin : Penghulu dan Batin yang semuanya menganut garis ibu (matrilinial). Orang Batin tinggal di sekitar kecamatan Tabir, Sungai Manau dan Jangkat. Menurut tembo, orang Batin di Jangkat merupakan keturunan dari Lempur, daerah di selatan Kerinci. Menurut penuturan Santy, bahasa desa-desa di Jangkat yang berbatasan langsung dengan Lempur memiliki kemiripan dengan bahasa Kerinci dialek Lempur.
Salah satu keunikan budaya Jangkat terletak pada pakaian adatnya. Berbeda dengan pakaian adat Batin di kecamatan lain. Sedang di Jangkat, saya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan dengan berfoto mengenakan pakaian pengantin Jangkat.
Awalnya saya hendak memakai baju yang sama dengan yang dipakai Santy dan bang Sahron ketika menikah. Namun, rupanya ayuk yang menyewakan baju adat sedang berhalangan sehingga Santy mencoba menghubungi kawannya. Beruntung kami mendapatkan baju adat di sebuah salon sederhana di dusun tetangga, tidak jauh dari Koto Jayo.
proses pemakaian pakaian pengantin suku Batin di Jangkat, ribet 😀
hasil foto di salon dan di luar; dua foto paling kanan merupakan hasil edit sendiri
Pakaian ini wajib dipakai masyarakat Jangkat ketika akad nikah. Saat resepsi mereka dibebaskan untuk memakai pakaian adat daerah manapun; Bangko, Jambi, nasional atau modern. Uniknya, setelah akad nikah, sepasang pengantin tidak langsung duduk di pelaminan melainkan pulang ke rumah masing-masing. Selanjutnya pengantin perempuan harus menjemput pasangannya kemudian diarak beramai-ramai ke rumah pengantin perempuan. Prosesi ini disebut dengan jemput suami. Setelah pernikahan, pengantin pria akan tinggal menetap di rumah pengantin perempuan.
Sayang kami tidak memperoleh keterangan tentang filosofi pakaian pengantin ini. Yang jelas pakaian pria mirip dengan baju takwa khas Timur Tengah sedangkan pakaian perempuan mirip dengan suku pegunungan di Indocina. Kami berfoto-foto menggunakan kamera saku di dalam salon dan di halaman. Membuat sebagian masyarakat Kampung Sawah memberikan perhatian lebih kepada kami. Ditambah lagi, menurut penuturan nenek yang memiliki baju adat ini, istri saya adalah orang Jawa pertama yang memakai pakaian adat Jangkat ini. 🙂
Habis foto-foto, kami jalan-jalan lagi. Berbekal motor dari Santy, kami ingin melihat tiang utama masjid Pulau Tengah dan berfoto-foto di Muara Madras. Masjid Pulau Tengah merupakan salah satu masjid tua di Jangkat. Tiang utamanya berasal dari sebuah pohon berumur ratusan tahun. Sayang bangunan utama telah direnovasi. Akar pohon ini masih bisa dijumpai di ladang Santy.
tiang utama masjid Pulau Tengah, warnanya sudah berbeda dari warna aslinya
persawahan dilihat dari tepi jalan
Kantor Polsek Jangkat merupakan bangunan bertingkat dua pertama di Jangkat. Menggantikan bangunan lama yang terbuat dari kayu. Berlokasi tepat di samping kantor camat Jangkat. Dalam perjalanan pulang dari Muara Madras, kami singgah di warung sate Padang satu-satunya di Jangkat. Kami bungkus beberapa bungkus sate untuk dimakan di rumah.
Siang selepas makan dan sholat Dhuhur, kami bergerak ke kebun kentang. Singgah di rumah kakak, dua kemenakan Santy ingin turut. Jadinya, bang Sahron membonceng tiga orang termasuk Santy. Tiba di kebun kentang, Santy menunjukkan bangkai akar pohon yang batangnya dipakai sebagai tiang utama masjid Pulau Tengah. Sangat besar meski telah berumur ratusan tahun. Rumpun sirih tumbuh subur di atas akar pohon.
Santy dan akar pohon tiang utama masjid Pulau Tengah
Motor kami letakkan di tepi ladang. Kami berjalan berhati-hati agar tidak menginjak tanaman kentang. Kentang di sini belum cukup untuk dipanen. Tak hanya kentang, sejumlah tanaman seperti terong dan daun bawang turut menghiasi sudut kebun. Selesai panen terong dan bawang daun, kami makan siang di sebuah dangau di tengah-tengah kebun. Nasi panas ditambah dengan tumis jengkol, sayur selada air dan tumis paku menjadi alat pemersatu. Saya makan nambah dua kali.
makan di tengah kebun, daun pisang sebagai pengganti piring
Sore hari, saya mengajak Mama Nia mandi bareng di sungai. Sesuai ketentuan di dusun, tempat mandi untuk kaum laki-laki dan perempuan dipisah. Saat mencelupkan kaki, hawa sedingin es membuat saya agak kaget. Lama-lama, bukan dingin yang saya rasakan, melainkan kesejukan. Saya tidak berani ke tengah, menurut seorang bapak-bapak yang ikut mandi, air di tengah sungai cukup dalam.
mandi di sungai
Malam terakhir di Jangkat, kami habiskan waktu duduk bersama di dapur. Menurut bang Sahron. Jangkat yang sekarang berbeda dengan Jangkat sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Dulu hutan belum banyak ditebang, ikan di sungai masih banyak, udara belum sepanas sekarang.
Sejak dua puluh tahun yang lalu, Jangkat dipenuhi dengan pendatang dari Selatan; sebutan untuk provinsi-provinsi di sebelah selatan Jambi. Kedatangan mereka tak hanya berladang atau berkebun, lebih dari itu hutan lindung di Taman Nasional Kerinci Seblat ikut dirambah. Tak hanya itu, tingkat kriminalitas melonjak. Saya tak ingin menyalahkan mereka. Karena sebenarnya, merekapun “terusir” dari daerah asalnya karena sumber daya alam yang semakin menipis.
Ironisnya pemkab di tahun 2014 menerbitkan sebuah dokumen yang intinya mengakui para pendatang sebagai warga Merangin. Hal ini disesalkan sebagian warga asli Jangkat. Saya hanya bisa berdoa, Jangkat akan tetap lestari dalam kebersahajaannya. Amin.
Sebelumnya saya berterimakasih bang, banyak sekali pengetahuan yang saya dptkn dari blog ini, termasuk tentang informasi di merangin dan jambi (padahal saya org asli jambi tp cm tau sedikit, 😦 , )
Tp mengenai suku penghulu yang beradat patrilinial, saya berpendapat sebaliknya, karena saya sendiri bisa dikatakan masih keturunan suku penghulu, setahu saya suku penghulu sendiri menganut garis keturunan ibu, ;), begitu yang saya lihat dikampung kakek dan nenek saya (ulu tabir, sekarang menjadi kec. Tabir Barat)
Saya mencoba mencari info mengenai suku penghulu dibeberapa blog, dan sebagian besar mengatakan jika suku penghulu beradat matrilinial.
Saya juga mendapat link http://tasman1959.blogspot.co.id/2014/12/malpu-106-orang-penghulu-bagian-dari.html yang menceritakan asal usul suku penghulu, yang merupakan keturunan suku minangkabau (beradat matrilinial).
makasih komennya kak mita, salam kenal yah, makasih udah diralat, udah saya edit 🙂
Salam kenal bang, hhe, keep sharing yaak, :), semoga dapat selalu berbagi ilmu dan pengalamannya,
siap 🙂
ironi ya bang.. mirip2 di aceh juga.. selalu ada ironi untuk sebuah tempat yang indah. tapi, klo g ada ironi maka ceritanya nggak menarik kan? 😀
ya bang yudhi … di dunia ini tak ada yg benar2 sempurna… termasuk di tempat wisata
tapi justru karena ketidaksempurnaan itulah cerita kita tentang hal2 demikian menjadi keren dan sempurna kan? #meloow 😀
hehehe… iya bang 🙂
Ooo ini baju pengantin yang dirimu cerita kemarin ya bang. Duh, awalnya aku suka baca postingan ini dan merasakan kesejukan di situ, tapi di paragraf-paragraf akhir malah jadi agak sedih dan khawatir ya 😦
selalu ada ironi di semua tempat yang katanya indah, sampah, kerusakan lingkungan, scam … dan memang itu fakta yang tidak bisa ditutup2i …
Iya betul bang
ada beberapa ironi yang sengaja tidak saya tulis mas, berpotensi sara
Oo, nanti kita japrian aja ya bang 🙂
sip mas …