Kerinci, Atap Pulau Sumatera

Pandemi membuat orang menekuni hobi lama atau menciptakan hobi baru. Salah satu hobi yang kembali saya lakukan adalah membaca buku. Sebenarnya pengen juga beli buku ke toko buku. Sayangnya, saya agak parno harus berkerumun dan sharing virus #amit-amit. Jadilah saya ubek-ubek buku lama di rumah buat dibaca ulang.

Koleksi buku saya tak banyak. Sebagian besar bertema traveling. Salah satu daerah yang membuat saya terkesan adalah Sungai Penuh, kota kecil nan indah di lembah pegunungan Kerinci.

Tak banyak buku traveling yang bercerita tentang Kerinci. Yang saya tahu selama ini, jika bukan ditulis oleh pemerintah untuk promosi wisata, pasti ditulis oleh orang Kerinci asli seperti buku Safari Budaya: Kerinci karya Yoni Elviandri.


Bukit Barisan dan Gunung Kerinci, dari atas pesawat

Habis baca buku Segores Pena, Seribu Kisah tentang aspek-aspek sosial, geografis dan sejarah pulau Sumatera, saya teringat pernah baca buku catatan perjalanan keliling  Sumatera. Penulisnya bang Iqbal (SagoeLeuser5). Saya tak ingat lagi kapan belinya. Sudah lama sekali hingga kertasnya tak lagi putih. Lembab menyulap kertasnya menjadi kekuningan. Hingga beberapa tahun setelah membeli buku ini, saya mengikuti blog-nya.

Judul bukunya Keliling Sumatera Luar Dalam: Catatan Backpacker yang Nyambi Jadi Jurnalis. Buku ini masih punya sub-sub judul yang ditempel di cover yang berwarna hijau pupus: Tidak perlu takut, pasti bisa! dan Perjalanan Campur Aduk: Tegar, Pantang Menyerah, Nekat, Pelit.

a62e01f9-2d45-4b27-92a4-1b0b9faf0df7

Kenapa pelit? Perjalanan ini dilakukan Iqbal secara hardcore backpacking dengan prinsip sebagai berikut:
* tidak ada anggaran sama sekali untuk penginapan
** pakai moda transportasi termurah
*** kalau jaraknya kurang dari 5 kilo harus jalan kaki
**** jalan terlalu berharap makan daging atau ayam selama perjalanan 
(hal. vi).

Di buku ini Muhammad Iqbal  membekukan perjalanannya keliling 8 provinsi di Sumatera: dimulai dari Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh dan berakhir di Bangka-Belitung. Dari Belitung lantas pulang ke Jakarta.

Yang membuat saya surprise, Iqbal mengunjungi Kerinci dan Sungai Penuh, satu-satunya daerah di Jambi yang dikunjungi. (Karena Kerinci dan Sungai Penuh awalnya satu daerah, saya hitung satu). Saya pernah tinggal selama setahun di Sungai Penuh dan penasaran seperti apa daerah yang saya tinggali di mata Iqbal.

Di postingan kali ini, saya hanya akan menceritakan ulang perjalanan Iqbal di Kerinci.

Iqbal masuk Kerinci via Bengkulu. Naik travel Safa Marwa selama 12 jam. Saya pun pernah naik mobil butut ini waktu jemput istri pertama kali merantau ke Sungai Penuh. Saat itu tiket pesawat paling murah ya via Jambi atau Bengkulu. Baik Bengkulu-Kerinci maupun Jambi-Kerinci sama-sama 12 jam perjalanan.

Di Sungai Penuh, Iqbal jalan kaki dari masjid tempat ia menginap menuju Bukit Khayangan! Betul, sepertinya Iqbal salah informasi. Ia ingin menuju tempat yang lebih dekat antara Bukit Sentiong atau Bukit Khayangan. Jadinya ia pergi jalan kaki ke Bukit Khayangan setelah jalan kaki selama 2,5 jam! Saya sih sudah nyerah kalau disuruh jalan kaki kesana hehe. Padahal mah, yang lebih dekat ya Bukit Sentiong karena masih di pusat kota.


pesona Danau Kerinci dari Bukit Khayangan

Dari Sungai Penuh, Iqbal beranjak ke Semurup melihat air panas. Bukan seperti pemandian air panas, tetapi fenomena alam menyerupai kolam berisi berisi air mendidih.

Tujuan utama Iqbal di Kerinci yaitu mendaki Kerinci, gunung tertinggi di Sumatera. Karena harga porter sangat mahal (300k sehari), jadinya ia mendaki gunung Tujuh, “adiknya” gunung Kerinci. Iqbal naik bertiga bareng temannya dan seorang pemandu. Ia terheran ada sinyal telepon di puncak gunung saat mendengar pemandu bertelepon di puncak gunung Tujuh.

Dari gunung Tujuh, Iqbal melanjutkan perjalanan ke Sumatera Barat dan daerah lainnya ….

Selain Kerinci, beberapa daerah yang dikunjungi Iqbal dalam perjalanannya mungkin cukup asing bagi orang yang belum pernah menginjakkan kaki di Sumatera.

Daftar nama kota non ibukota provinsi yang saya maksud adalah Kalianda, Way Jepara, Prabumulih, Pagaralam, Kepahiang, Mukomuko, Padang Aro, Siberut, Batusangkar, Bonjol, Gunung Sitoli, Sirombu, Subulussalam, Sinabang, Rimo dan Sungai Liat. 

Gaya bercerita Iqbal di buku ini cukup asyik. Mengalir seperti obrolan seorang sahabat. Dalam perjalanan, Iqbal selalu berbaur dengan orang lokal sehingga mendapat impresi sebuah daerah dari mata orang lokal langsung, bukan dari turis yang hanya sekedar datang, jepret pakai kamera dan pergi. Saya merasa ikut dalam perjalanan Iqbal.

Sejak awal membaca, mata tak kunjung berhenti ingin menuntaskan rangkaian perjalanan Iqbal yang berwarna-warni. Dalam sekejap, 211 halaman habis tak tersisa.

Saya tak tahu apakah buku ini masih ada di toko buku konvensional secara buku ini terbit pertama kali pada tahun 2013 silam. Di online shop mungkin masih ada. Setiap tempat di buku ini punya cerita masing-masing yang seru buat kalian baca sendiri. Terimakasih bang Iqbal buat sharing-nya tentang Sumatera khususnya Kerinci. 


12 respons untuk ‘Kerinci, Atap Pulau Sumatera

  1. Halo bro. Salah satu kenikmatan menjadi penulis selain aktivitas menulis itu sendiri, adalah ketika tulisan kita dibaca orang, lebih-lebih diresensikan dan disukai. Terima kasih banyak apresiasinya… Saya baca ini jadi teringat dulu jalan kaki saya salah arah ya ke Bukit Khayangan. Dulu rasanya sudah ada google maps tapi HP saya jadul jadi tidak bisa akses, bekalnya itu peta di lonely planet saja, sama nanya2.

Blogger yang baik meninggalkan jejak berupa komentar :-)