Muara Bungo, Selasa 3 November 2020
Resah melanda hati. Entah kenapa. Tiba-tiba pengen minum es teh. Saya tak punya es batu untuk membuat es teh. Kulkas sudah saya matikan sejak saya pulang kampung ke Jawa Tengah dua minggu kemarin.
Raga dan pikiran pun masih belum sepenuhnya “kembali” habis dari perjalanan pulang kampung. Kemarin, setiba dari Jambi dengan travel, saya langsung ke kantor di Rimbo Bujang untuk mengambil motor yang saya titipkan di kantor. Dari Rimbo Bujang ke kontrakan Muara Bungo saya kehujanan. Sempat panik karena tak membawa jas hujan. Untung sempat mampir di Alfamart Unit 3 untuk membeli jas hujan plastik sebelum hujan semakin deras.
Saya pergi ke angkringan sebelah bakso Jomblo, tak jauh dari kosan Stefanus, teman sekantor saya. Saya pesan es teh dan kebab. Di sana sudah ada Stefanus dan kawan-kawan kantor yang lain: Rani, Aldo, Kris, Rendy.
“Malam ini ada mutasi,” kata Stefanus. Saya pikir hanya bercanda, hingga akhirnya teman-teman yang lain berkata hal yang sama. Kabarnya isunya sudah berhembus sedari sore.
Saya tak terlalu menganggap serius obrolan mereka hingga mereka pulang duluan dari angkringan. Saya sudah meninggalkan kampung halaman sejak lulus SMA tahun 2006 dan sejak saat itu pulau Sumatera adalah rumah kedua saya. Agak mustahil bagi saya kembali ke pulau Jawa karena formasi pegawai di Jawa sudah sedemikian padatnya. Poling isian nama kota yang selalu saya isi setiap tahun dan pendataan tujuan mutasi saya anggap sebagai penghibur saja.
Detik dan menit berlalu. Jam 21.30 malam, seorang kawan kantor mengunduh berkas pdf berjudul SK mutasi di grup WhatsApp kantor. Belum selesai saya membaca seluruh file tersebut, seorang kawan memberi potongan screenshot berisi nama saya. Saya pindah kantor ke Boyolali mulai 3 November!
Seketika saya merinding, jantung berdebar, tak percaya. Saya baru saja kembali ke Bungo setelah mengambil cuti tahunan 2 minggu di kampung. Masih terbayang perjuangan bangun pagi buta menuju bandara, pelukan dan senyum ibu saya melepas kepergian saya ke Sumatera dan anak saya yang tertidur pulas tatkala saya terpaksa harus pergi ke rantau.
Terlalu banyak kenangan di pulau Sumatera, tapi seketika saya teringat keluarga dan orang tua di kampung. Entah saya harus senang atau sedih. Yang jelas saya masih cukup shock dengan mutasi yang mendadak ini.
Di SK, tertulis bahwa surat ini mulai berlaku sejak tanggal 9 November alias minggu depan. Artinya saya hanya punya waktu beberapa hari saja untuk packing, pindahan seluruh barang dari Muara Bungo ke Boyolali dan menyiapkan berkas pindah ke Boyolali.
Tak lama, ponsel saya penuh dengan ucapan pindah. Di grup WA kantor maupun pesan dari kawan-kawan lain. Segera saya telpon dan mengirim pesan WhatsApp ke istri saya. Conteng satu. Ia biasa mematikan sinyal telepon dan menghidupkan mode penerbangan. Saya telepon adik ipar saya yang baru saja pulang dari pekerjaan untuk memberitahu ibu mertua dan istri.
Saya beritahu keluarga di grup WhatsApp keluarga. Hanya adik yang masih terjaga dan membalas pesan saya. Ibu saya yang membaca pesan sekitar jam 01.00 pagi seketika langsung melakukan sujud syukur atas kepindahan saya. Masih ada beberapa “utang” tulisan tentang Muara Bungo dan Jambi yang belum saya rilis. Semoga bisa segera saya rilis dalam waktu dekat.
wah sekarang sudah di tanah Jawa …. pasti senang banget ya mas … apalagi keluarga besar
Alhamdulillah mas, terimakasih ya 🙂
selamat mas, balik ke kampung halaman
Alhamdulillah, makasih mas
Selamat Kang Isna. Selamat berpisah dengan teman-teman yang sudah menjadi keluarga di Sumatera, dan selamat datang kembali di tanah Jawa. Semoga tercapai cita-cita yang belum terwujud. Insya Allah semuanya berkah berkat ketulusan dan kerja keras Kang Isna.
Amien kang Ogie
Waaah akhirnya. Bisa meet up sering2 nih hehe
Hayuk meet up Gie 🙂
alhamdulillah…..kembali ke tanah Jawa ya Mas Isna!!
sejak tulisan ini dimuat berarti sudah pindahan dong yaaa
Alhamdulillah udah di Jawa ira 🙂