11 Menit di Atas Sibinuang

Suatu sore di kota Padang saat bulan Ramadhan. Mumpung saya sedang di Padang saya akan menjajal naik kereta api. Ya, bisa dibilang sambil ngabuburit.

Dulu sekali saya bersama seorang teman pernah mencoba datang ke stasiun. Sayangnya saya kehabisan tiket ke Pariaman. Saat itu, kereta komersial di Padang hanya melayani rute Padang-Pariaman pp dengan nama Sibinuang. Saat ini, ada tiga rute yang dioperasikan Divre II Sumbar. Kereta Sibinuang, Minangkabau Expres relasi Padang – bandara BIM dan Lembah Anai relasi Kayu Tanam – bandara BIM. 

Kabarnya, kereta Lembah Anai direncanakan akan diperpanjang sampai Padang Panjang. Saat ini sedang dimulai reaktivasi rel dari Kayu Tanam ke Padang Panjang. Wah, kalau ini sudah jadi nanti, bakalan seru karena jalur menuju Padang Panjang jalurnya menanjak (hampir kaya jalur dari Ambarawa ke Bedono) serta memiliki pemandangan yang indah.

Sebenarnya saya ingin menjajal semua rute (ke Pariaman, ke bandara BIM dan ke Kayu Tanam). Karena pertimbangan waktu yang terbatas dan setelah melihat jadwal perjalanan kereta di Wikipedia, saya putuskan hari ini naik kereta Sibinuang. Esoknya, naik kereta bandara ke BIM.

Di Sumatera, saya pernah naik kereta api dari bandara Kuala Namu ke Medan dan sebaliknya. Itu pengalaman pertama naik kereta api di Sumatera. Lantas naik kereta api dari Lubuk Linggau ke Palembang saat hendak ke Bangka. Saya masih punya “utang” naik kereta api di Lampung dan Aceh hehe.

Dari 8 provinsi di Sumatera, hanya Jambi yang tidak pernah dilintasi rel kereta api. Riau pernah dilintasi jalur kereta dari Pekanbaru ke Sijunjung, hanya saja belum sempat beroperasi karena salah konstruksi. Bengkulu hanya memiliki satu stasiun aktif yaitu Kotapadang yang masuk wilayah Rejang Lebong.

Seusai acara di kanwil, saya kembali ke hotel. Dengan naik ojek online, saya menuju stasiun Air Tawar.  Stasiun paling dekat dari hotel Whiz. Jadwal kedatangan di Air Tawar pukul 16.21, berangkat 1 menit kemudian pukul 16.22. 

Pengendara ojek yang saya tumpangi rupanya mengira saya bukan hendak ke stasiun sehingga stasiun terlewat beberapa ratus meter. Rupanya, stasiun Air Tawar ini disebut warga lokal dengan nama stasiun Basko karena terletak tepat di samping mall Basko. 

Turun dari ojek, kereta Sibinuang dari Pariaman datang. Bergegas saya ke loket membeli tiket menuju stasiun Padang. Uni penjaga loket sempat mengulang perkataan saya waktu saya bilang Simpang Haru. Simpang Haru ini nama lazim stasiun Padang untuk membedakannya dengan stasiun lain di kota Padang. Simpang Haru merupakan stasiun terakhir dari rute Pariaman-Padang. 

Air Tawar ini merupakan sebuah halte yang baru saya tahu kalau halte ini tempat pemberhentian kereta api yang hanya memiliki satu jalur kereta. Berbeda dengan stasiun yang memiliki minimal dua jalur kereta. Karena hanya ada satu jalur dan lebih kecil dari stasiun, usai membeli tiket saya bisa langsung naik kereta setelah dicek petugas yang berdiri di peron. Peronnya sendiri tepat di sebelah loket. Tempat duduk penumpang untuk menunggu kereta ya di atas peron.

Dari Air Tawar menuju stasiun Simpang Haru hanya akan melewati satu stasiun sebelum stasiun Padang yaitu halte Alai. Dari keterangan di tiket, waktu perjalanan dari Air Tawar ke Simpang Haru sekitar 11 menit. Dengan demikian, ini akan menjadi rekor perjalanan naik kereta api tersingkat seumur hidup saya! Terdengar agak konyol yah sebenarnya hehe.

Tiket seharga Rp 5.000,- sudah dalam genggaman. Sangat murah bukan. Padahal dari Padang ke Pariaman ini lumayan jauh. Waktu tempuhnya hampir 2 jam kurang sedikit. Tarifnya flat seperti angkot, jadi baik jauh atau dekat harga tiketnya sama, Rp 5.000,- untuk satu kali perjalanan. Dulu tujuan akhir ke arah Pariaman yaitu di stasiun Pariaman. Sejak bulan Maret, kereta Sibinuang diperpanjang hingga stasiun Naras (bahasa Minang: Nareh) yang merupakan stasiun paling ujung di Pariaman.

Tak banyak orang naik. Malah, sepertinya hanya saya satu-satunya penumpang yang naik. Kursi yang seharusnya saya duduki rupanya sudah ditempati sepasang suami istri dengan kedua anak mereka. Penumpang kereta memang tidak terlalu banyak. Saya berpindah ke kursi sebelah mereka. 

Interior kereta tak ada bedanya dengan kereta ekonomi di pulau Jawa. Bentuk kursi, jendela, pendingin udara. Sarung kursi berwarna biru laut membungkus setiap kursi. Perbedaan hanya pada bahasa. Hampir semua penumpang bercakap-cakap dalam bahasa Minang. Sebagian lagi berbahasa Indonesia, tetapi dialek Minang hehehe.

Sepasang penumpang di depan saya, seorang pria dan bocah laki-laki terlelap dalam tidur. 

Sibinuang yang dijadikan nama kereta ini diambil dari nama kerbau dalam cerita rakyat Minang Cindua Mato. Kerbau diambil karena kata kabau dalam kata Minangkabau sendiri bermakna kerbau.

Tak banyak pemandangan yang bisa dilihat dalam perjalanan kali ini. Hanya suasana perkotaan berupa rumah penduduk, sungai, pertokoan. Pun saya tak berharap dapat melihat sesuatu yang wow. Bisa mencoret list naik kereta api di ranah Minang saja saya senang.

Di kejauhan tampak bukit-bukit yang memagari kota Padang. Beberapa kali kereta melintas jembatann di atas sungai berwarna keruh yang bermuara di pantai Padang.

Di stasiun Alai, beberapa penumpang turun. Alai ini sama seperti Air Tawar juga sebuah halte. Hanya memiliki satu buah jalur kereta, peron kecil dan berada di tengah pemukiman. Lokasi halte tak jauh dari hotel Ibis, bangunan tertinggi di Padang saat ini.

Beberapa saat kemudian saya tiba di stasiun terakhir, Simpang Haru. Tepat 11 menit perjalanan dari Air Tawar. Tidak kurang dan tidak lebih. Jelang keluar dari kereta, baru saya sadar tiket kereta saya tidak diperiksa oleh kondektur. Semua penumpang lantas turun. Stasiun ini tidak terlalu besar untuk ukuran ibukota provinsi. Jauh lebih kecil dari stasiun Medan atau Palembang. 


bangunan beratap gonjong di luar stasiun Padang

Sekilas tak ada yang tampak kuno dari stasiun Padang. Padahal stasiun ini dibangun tahun 1891. Meski sudah tua, stasiun ini bukan stasiun tertua di Sumatera Barat. Stasiun tertua adalah Pulau Air, stasiun nonaktif di dekat pelabuhan Muaro, kawasan kota tua Padang. Kecuali tiang penyangga atap peron yang dibuat agak condong ke depan, tidak ada kesan antik di stasiun Padang. Papan penunjuk ketinggian di atas kata Padang menunjukkan 8 meter di atas permukaan laut.

Atas informasi dari petugas, saya menuju ke loket di dekat pintu keluar untuk membeli tiket balik ke Air Tawar. Loketnya kecil saja. Berada di ujung bangunan. Lengang.

Saya tidak jadi membeli tiket tujuan Air Tawar melainkan ke stasiun Tabing, stasiun pertama setelah Air Tawar arah ke Pariaman. Harganya Rp 5.000,- Di tiket tujuan akhir saya tidak tertulis Tabing melainkan Pariaman.

Kereta akan berangkat pukul 17.05. Masih ada waktu sekitar 30 menit sebelum keberangkatan. Saya beranjak ke halaman depan stasiun. Stasiun padang selain sebagai stasiun terakhir juga berfungsi depo kereta api serta kantor Divisi Regional II Sumbar yang mengoperasikan layanan kereta api di Sumatera Barat.

Sebelum jam lima, saya kembali melewati pos pemeriksaan dan bertemu satpam yang tadi saya tanyai dimana loket pembelian tiket. Sengaja langkah saya percepat berharap ia tak terlalu mengingat saya haha. Saya kembali masuk ke kereta yang tadi saya naiki dari Air Tawar ke Simpang Haru, hanya saja kali ini beda gerbong.

Tepat pukul 17.05 roda besi kereta bergerak perlahan. Menurut jadwal, perjalanan dari Padang ke Naras akan ditempuh selama 1 jam 51 menit.

Duduk di seberang saya, seorang pria sibuk membaca kitab suci. Di depannya perempuan berhijab besar yang mengeluarkan pandangan ke luar jendela. Adem lihatnya.

Kembali kereta membelah tengah-tengah pemukiman padat kota Padang. Namun, tidak sekumuh pemukiman bantaran kereta di Jakarta.

Setelah lewat stasiun Air Tawar, kereta menyeberang jalan raya sehingga sekarang posisi kereta berada di sisi kiri dari jalan. Saya tiba di stasiun Tabing pukul 17.24, tepat sesuai jadwal. Kereta Minangkabau Ekspres tujuan bandara sedang berhenti di Tabing. Pintu kereta Minangkabau Ekspres terbuka, saya menyeberang naik kereta ke pintu keluar.

Dari stasiun, saya harus naik jembatan penyeberangan lantas turun menuju halte Trans Padang. Pantas saja jembatannya sepi, lha lantai besinya saja sudah banyak yang bolong gini. Sangat berbahaya. Saya harus berjalan hati-hati.


26 respons untuk ‘11 Menit di Atas Sibinuang

            1. kemaren liat di ig genpi sawahlunto apa wisata sawahlunto apa yah, mungkin biar gak terlalu terbengkalai kali keretanya, jadi ingat waktu mak itam pulang kampuang ke sawahlunto disambut meriah, sekarang jadi tidur lama di rumahnya….

                  1. Uniang itu panggilan uni buat orang pariaman khususnya, paling banyak di sana.
                    Cik atau encik itu kan panggilan kepada perempuan minang juga, kaya mba gitu, tapi sekarang kok ya udah makin langka gitu…

  1. sepi ya yg naik KA disana … tapi asyik malah jadi bisa bebas ..haha
    mungkin tinggal nunggu waktu .. nanti akan tembus ke Bukitinggi, pastinya lebih seru naik KA di Lembah Anai

  2. Semoga semakin banyak warga Sumbar yang naik kereta api ya.

    Maaasss itu jembatannya serem amaaattt. Kalo aku pasti aku turun lagi. Aku takut ketinggian 😦
    Lewat jembatan biasa aja masih agak takut

  3. Saya berharap kereta api itu bisa sampai tersambung sampai Bukittinggi. Untuk mengurangi kemacetan yang sering melanda jalan ke Bukittinggi dari arah Padang.

    Tahun 1987 saya masih merasakan naik kereta api pengangkut batu bara. Tidak ada gerbong penumpang, tentu saja. Kami duduk di tempat persis di ujung gerbong. Ada ruang sedikit.
    Saya dan kawan-kawan naik dari stasiun Simpang Haru. Tujuan Padang Panjang. Kenangan yang masih terkenang sampai kini.

Tinggalkan Balasan ke Firsty Chrysant Batalkan balasan