Cerita sebelumnya bisa dibaca di sini.
***
Mata saya terbuka saat mendengar teman saya keluar kamar menuju kamar mandi. Saya malas bergerak sebenarnya. Selimut hangat ini terlalu nyaman untuk ditinggalkan.
Usai teman saya selesai urusan di kamar mandi, saya beranjak dari kasur lantas ke kamar mandi. Cess..air sedingin es membasahi muka, kaki dan tangan. Usai sembahyang pagi, saya tak tidur. Dari atas balkon, saya melihat pemandangan di depan saya. Matahari belum tampak, tapi langit sudah mulai menampakkan warna putihnya. Dalam remang, saya lihat sawah, sungai dikelilingi pegunungan dengan Masurai sebagai puncaknya yang tertutup halimun.
Perlahan-lahan langit di timur berubah warna menjadi kekuningan. Oka, teman saya bergabung dengan saya di balkon. Masih memakai selimut. Halimun di puncak gunung Masurai perlahan-lahan memudar. Sawah dan sungai di depan saya mulai menampakkan wajah aslinya.
Satu demi satu warga mulai beraktivitas di jalan. Anak sekolah berjalan kaki ke sekolah. Petani memakai boots, topi dan alat pertanian dengan sekarung penuh di pundaknya. Beberapa kendaraan berlalu lalang.
Sembari menunggu sarapan, saya mengajak Oka berjalan-jalan. Kak Irma, pemilik penginapan sedang mempersiapkan makan pagi.
Meski ibukota kecamatan, tak nampak keramaian di Muara Madras. Tak ada pasar, tak ada bank, tak ada ATM. Pasar desa hanya buka seminggu sekali. Disanalah ekonomi warga berputar.
Sepanjang mata memandang, di kiri kanan jalan kecil ini adalah rumah-rumah panggung terbuat dari kayu. Di sebelah kiri terbentang sawah hijau yang berbatasan dengan sungai. Lalu sawah lagi dan di ujung sana ada pegunungan. Di sebelah kanan adalah perbukitan yang tak kalah tinggi. Sepertinya banyak warga yang suka bertanam bunga. Hampir semua rumah ditanami dengan bunga warna-warni.
Kami berbelok di sebuah jalan kecil menuju sungai. Namanya sungai Mentenang. Airnya sangat jernih dan cukup tenang, sesuai namanya. Penasaran, kami mencuci muka dengan air sungai itu. Sangat dingin.
selfie di sungai Mentenang
embun pagi
wisma kami dilihat dari sungai
Setiap kali kami bertemu dengan warga desa, mereka selalu tersenyum. Sebagian bertanya asal kami. Keramahan khas pedesaan yang masih saya ingat sampai saat ini. Di sebuah lumbung padi kami berhenti dan berfoto-foto sejenak.
Perjalanan kami akhiri di masjid. Rumah panggung kayu di samping masjid ini masih ditempati oleh orang tua bu Hesti, first lady Merangin. Seorang wanita kelahiran desa ini. Sosok penting di balik pembuatan taman bunga Hesti’s Garden yang fenomenal itu.
rumah istri bupati Merangin
Kembali ke penginapan, teman-teman saya sedang mandi bergantian di wisma. Saya memilih membawa handuk dan alat-alat mandi ke sungai. Teman-teman saya keheranan melihat saya pergi mandi ke sungai. Tak ada siapapun di sungai. Saya basahi kaki dan tangan sebelum mencelupkan badan ke sungai.
Di penginapan, sarapan telah tersedia. Kak Irma memasak nasi goreng ditemani sambal kacang sisa tadi malam. Kami makan dengan lahap. Usai makan kami merapikan barang untuk bersiap-siap menuju SMA Negeri 9 Merangin, tempat kami akan melakukan kegiatan penyuluhan.
gunung Masurai
sarapan pagi ditemani embun, sawah, udara sejuk
bersambung
bangga menjadi orang jangkat_muara madras
terimakasih sudah berkunjung kak 🙂
Senangnya melihat alam pedesaan seperti di Jangkat ini. Mungkin karena saya berasal dari desa rasa kangen saya akan kampung halaman sedikit terobati.
Mas tolong kirim alamat lengkap via japri. Sampeyan dapat buku gratis dari saya karena telah berkomentar di blog saya.
wah, saya menang apa nih bang? oke..nanti saya kirim lewat email yah, makasih
[…] Cerita sebelumnya : 1. Malam di Jangkat 2. Pagi di Jangkat […]