Datang, Pergi, Kembali

Entah sudah berapa lama tulisan ini nangkring begitu saja di dasbor blog saya. Jika melihat di histori penulisan, sudah tiga puluh hari tulisan ini hanya berupa konsep saja. Sayangnya tulisan ini terbengkalai karena berbagai alasan. Mood yang hilang di tengah-tengah jalan. Lalu karena saya terpaksa mengubah ‘cerita’ yang mau saya tulis karena berbagai peristiwa di luar praduga yang terjadi selama sebulan ini.

Datang ke Indonesia
Akhir bulan April saya kedatangan Stephan, seorang bikepacker dari Jerman. Dia datang ke Indonesia dalam rangka bersepeda dari Jerman menuju Asia Pasifik. Dia pernah mengalami kecelakaan fatal dengan mobil di Iran. Kakinya patah sehingga harus balik ke Jerman untuk penyembuhan. Setelah sembuh total dia kembali jalan-jalan pakai sepeda dimulai dari China. Indonesia adalah negara kesekian yang dikunjunginya di Asia setelah Malaysia. Di Indonesia, Stephan tiba di pelabuhan Dumai, Riau. Melanjutkan perjalanan melewati kota Pekanbaru. Menemui kekecewaan karena di Taman Nasional Tesso Nilo katanya banyak hewan yang mati disana.

Stephan tinggal di Dresden. Kepadanya saya tunjukkan beberapa kartu pos dari Jerman yang saya dapat dari Postcrossing. Orangnya cukup menyenangkan, ramah, meskipun kadang saya merasa badannya bau keju *ergh -_- dan kalau ngomong kadang terlalu cepat sehingga susah dimengerti.

Seperti orang Eropa pada umumnya, Stephan adalah penganut kebebasan. Dia tinggal dalam satu apartemen dengan pacarnya seorang warga Polandia. Dan orang tuanya mendukungnya. Suatu saat ketika makan malam di Kafe Mini sambil minta maaf saya iseng bertanya masalah pribadi kepadanya, “Sorry, may be it is out of my bussines. Did you have sexual activity with your girlfriend?” tanya saya kepada Steph. Dia menjawab santai “Of course bla bla bla.” Intinya mereka menjalani hubungan ini tanpa beban kapan harus menikah! Mereka pikir menikah itu ribet dan banyak biayanya. Malam itu berakhir dengan beberapa pertanyaan yang masih mengganjal di benak saya.

Keesokan harinya Steph pamit kepada saya mau ke danau Gunung Tujuh di Pelompek sekaligus melihat bunga bangkai di Padang Aro, Solok Selatan. Sepedanya ditinggal di kantor.

Sehari kemudian Steph pulang ke rumah. Katanya dia gagal melihat bunga bangkai karena tersesat di Padang Aro. Tidak ada yang bisa membantunya karena semua warga yang ditemuinya tidak bisa berbahasa Inggris.

Kembali ke Bangko
Hari Selasa tanggal 30 April 2013 saya seperti melihat gerhana matahari di siang bolong. Tetiba saja saya mendapat telpon bahwa saya dipindahtugaskan dari Sungai Penuh ke Bangko!

*hening

Cukup syok saya mendengar kabar mengejutkan ini. Seolah tidak percaya saya. Satu tahun di Kerinci, saya telah jatuh cinta setengah mati dengan kota ini. Uni Dewi, kawan kantor saya menganggap saya bercanda. Saya buka email dan saya tunjukkan surat mutasi yang dikirim staf kepegawaian.

Malamnya saya, Andri dan Steph pergi ke Semurup menghadiri acara akad nikah mas Muji, kawan kantor saya dengan uni Rika. Pasangan Jawa-Kerinci ini menggelar janji sehidup sematinya di masjid syuhada Pugu Semurup. Mulai dari acara akad nikah di masjid sampai di rumah pengantin pria, Steph menjadi pusat perhatian malam itu. Banyak yang ingin berfoto dengannya dan salah seorang bapak-bapak turut berbincang hangat dengan Steph.


saya, mas Muji, uni Rika, Andri, Steph

Keesokan harinya Steph minta ditemani ke danau Kerinci. Karena saya harus bekerja di kantor saya berjanji mengajak Steph ke Koto Petai saat istirahat siang. Tiba di danau Steph hanya melihat-lihat danau Kerinci dari tepian. Saya berjalan menyusuri batu berajut kawat hingga ke arah pulau pandan.


batu berajut, nelayan, danau Kerinci dan pulau pandan

Beranjak dari pantai Koto Petai, saya menjumpai beberapa batu mirip menhir di pekuburan umum desa Koto Petai. Lokasinya tidak jauh dari jalan desa. Tepatnya di dekat pagar yang memisahkan kuburan dengan jalan. Ada tiga kelompok batu menhir disini. Ukurannya sekitar satu meter tingginya.


batu menyerupai menhir, Koto Petai

Lepas kerja saya ke Sungai Medang bersama Steph. Menikmati mandi belerang dan melihat matahari terbenam di Sungai Penuh. Dan sepertinya kisah hidup saya ikutan terbenam di kota ini.

Malam demi malam saya habiskan dengan merenung sampai pagi. Saya ikhlaskan saya menjadi orang yang cengeng menghadapi mutasi ini. Malam-malam saya sengaja nangis di ketika sedang telponan dengan istri di seberang sana.

Beberapa hari kemudian, Farid kawan saya datang dari Bangko. Dia yang akan menggantikan posisi saya di Sungai Penuh. Orangnya kalem, dengan logat Jawa yang sangat terasa. Farid aslinya dari Temanggung, daerah pegunungan berhawa sejuk di Jawa Tengah. Makanya ketika saya ajak jalan-jalan keliling kota dia langsung jatuh cinta dengan Sungai Penuh. “Andai saja saya bisa lebih lama tinggal di kota ini seperti kamu” ucap saya dalam hati. 😦


Farid di depan kantor walikota Sungai Penuh

Tidak lama Steph di Sungai Penuh. Keesokan harinya dia berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya ke Jawa lewat Bengkulu. Saya berpesan agar dia berhati-hati di jalan. Itu saja. Diberikannya tiga batang kayu manis sebagai kenang-kenangan darinya untuk saya. Pagi itu saya melepas kepergian Steph. Sahabat baik yang baru saya kenal.

Hari Jumat pagi kami ke acara baralek mas Muji dan uni Reka. Mas Muji adalah pegawai di kantor saya. Kami sekantor datang ke tempat uni Rika. Bang No dan uni Dewi datang bersama pasangan dan anak masing-masing. Acaranya di Pugu Semurup, rumah orang tua uni Rika. Mas Muji dan uni Rika mengenakan pakaian adat Kerinci, sesuai dengan asal orang tua uni Rika.


selamat menempuh hidup baru mas Muji – uni Rika

Sebelum pergi Jumatan, Andri kawan saya mengajak foto bersama. Kami sudah seperti abang adik. Demi kompak di foto, saya menukar baju agar senada dengan baju Andri. Sampai berjumpa lagi, Andri.

Pergi untuk Selamanya
Saya masih dalam suasana galau ketika mendengar kabar duka ini. Di grup facebook Backpacker Medan dan CouchSurfing Sumatera Utara beredar kabar meninggalnya Taufiq Akbar Putra Saragih di RSUD Adam Malik, Minggu 5 Mei 2013 karena pneumonia.  Saya kembali dibuat tidak percaya dengan berita ini.

Taufik atau akhrab disapa Gaban adalah kawan traveling sekaligus host saya saat jalan-jalan keliling Medan pada tahun 2010. Karena tertarik dengan budaya Batak saya ikhlas “diupa-upai” menjadi saudara angkat Gaban. Lewat sebuah selamatan sederhan, resmilah saya menyandang marga Saragih.

Saya dengar Gaban yang bertubuh subur ini memang menderita sakit sesak nafas karena pneumonia (sering disebut paru-patu basah). Namun, tidak saya duga sakitnya akan separah ini. Sungguh tidak percaya dia akan pergi secepat ini dalam usia 23 tahun. T.T


foto profil Gaban terakhir di fb-nya

Selamat jalan Gaban, semoga tenang di sisi-Nya. Kami akan selalu mendoakanmu. T.T


6 respons untuk ‘Datang, Pergi, Kembali

Tinggalkan Balasan ke rintadita Batalkan balasan